![]() |
Sekelompok Anak Madura Tanah Merah |
Orang Madura sejatinya tersebar
bukan saja hampir di seluruh Nusantara, tapi bahkan juga hampir di seluruh
dunia. Tidak sedikit kisah atau cerita tentang orang Madura perantauan baik
yang berskala nasional maupun internasional. Karena penyebaran yang hampir
menyeluruh khususnya di Nusantara maka tidaklah sulit untuk mendapatkan kesan
tentang orang Madura dari orang non Madura di manapun dan kapanpun. Akan tetapi
sayangnya kesan yang dapat ditangkap tentang orang Madura selama ini cenderung
negatif khususnya karena faktor stereotipe.
![]() |
Pegunungan Garam Di Sebuah Perusahaan Garam Di Kalianget, Madura
|
Namun sayangnya fakta sosiologis
yang terakhir ini terabaikan karena mungkin efek yang ditimbulkan oleh fakta
sosiologis yang pertama jauh lebih besar sehingga mengakibatkan generalisasi
yang tidak pada tempatnya. Definisi kekerasan dan kekasaran pun tidak tunggal.
Banyak orang Madura yang keras dan kasar hanya dari sisi lahirnya saja. Artinya
sebenarnya sisi batinnya baik. Hanya saja faktor geografislah yang membuat
perangai dan pembawaannya terkesan kasar dan keras. Tapi ada juga yang memang
lahir batin keras dan kasar. Tapi sekali lagi yang seperti ini tidak semuanya
atau bahkan mungkin juga tidak banyak.
Stereotipelah yang membuat
seolah-olah setiap orang madura itu keras dan kasar. Ada juga yang kemudian
lebih merupakan korban dari penyikapan yang salah terhadap stereotipe tersebut.
Misalnya ada orang Madura yang sebenarnya lemah dan lembut. Tapi setelah ia
bersinggungan dengan stereotipe orang Madura yang keras dan kasar, orang
tersebut bukannya melawan tapi malah merubah dirinya dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi seperti yang distereotipekan.
Penduduk Desa Daya Rapa, Di Bawah Kecamatan Omben
Stereotipe tentang orang Madura
tidak hanya dapat dijumpai dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dalam karya
sastra pun stereotipe tersebut dapat menjelmakan dirinya. Salah satu karya
sastra yang mengandung stereotipe orang Madura adalah Babad Tanah Jawi karya R.
Ng. Yasadipura yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit
Amanah Lontar khususnya buku III yang akan menjadi sumber data dalam analisis
ini.
Stereotipe yang muncul dalam buku
tersebut lebih berkaitan dengan keberanian orang Madura saat menghadapi musuh
dalam peperangan. Namun sayangnya keberanian tersebut kemudian ternoda oleh
sikap brandal dan urakan pasca peperangan sebagaimana digambarkan dalam buku
itu. Misalnya seperti yang terdapat pada halaman 53 alinea kedua yang
berbunyi:“… Orang Madura yang banyak jumlahnya menjarah di mana-mana. Yang
lelaki di bunuh, perempuannya dibawa. Negeri-negeri yang dilalui orang Madura
takluk dan barang-barangnya dijarah. Orang Juwana pun mengungsi semua.”
“… Orang-orang kecil sangat takut kepada orang Sampang. Dandangwacana sampai di Kajoran, sikapnya sangat sombong. Negeri Pajang yang takluk diinjak-injak. Orang di dalam kota sangat takut dijarah orang Sampang …”
Dari kedua sampel di atas jelas
dapat ditangkap pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa orang Madura suka
membunuh, menjarah, dan menyiksa orang-orang yang sudah tidak berdaya.
Penggambaran orang Madura seperti ini sebenarnya bukan hanya sekedar stereotipe
tapi sudah sampai pada tingkatan stereotipe ekstrim yang bahkan tidak memberi
peluang sekecil apapun bagi sebagian orang Madura lainnya untuk meluruskan
fakta yang sebenarnya bahwa orang Madura bukan hanya para perusuh itu.
Sedangkan yang terkait dengan
keberanian orang Madura seperti yang ada pada halaman 35 alinea kedua yang
berisi ucapan raden Trunajaya kepada utusan yang berbunyi:
![]() |
Anak-Anak Di Desa Daya Rapa, Di Bawah KecamatanOmben
|
“… Laporkan kepada Eyang bahwa saya tidak bermaksud melarang orang Madura menghadap ke Mataram. Ini semua karena gilanya orang Sampang yang tidak mau diperintah. Jika ada perintah agar mengerahkan orang Madura menyerbu ke Demung saya persilahkan. Jangankan siang, malam hari pun saya persilahkan …”
Dari sampel tersebut terkesan
seolah-olah orang Madura tiada duanya dalam hal keberaniannya dan kesiapannya
dalam menghadapi pertempuran. Di samping itu juga dapat ditangkap kesan
seolah-olah orang Madura itu hobinya bertarung dan bertarung di mana saja dan
kapan saja.
Penggambaran orang Madura dalam Buku
itu mirip sekali dengan personifikasi Darsam dalam Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer. Secara tragis Pram bahkan mendeskripsikan Darsam yang kebetulan
juga berasal dari Sampang sebagai orang yang tidak dapat menyelesaikan
persoalan selain dengan jalan kekerasan yang disimbolkan dengan parang yang
selalu dibawa ke manapun ia pergi.
![]() |
Potret Keluarga Di Desa Daya Rapa Di Kecamatan Omben
|
![]() |
Wajah Kepala Desa di Madura
|