Setelah
keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan
arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid
Jamik. Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep (2003) diketahui, Lauw
Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam
orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia
diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut
“Huru-hara Tionghwa” (1740 M).
Masjid
Jamik dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada
tahun 1206 H (1787 M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat
yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid
ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di
negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang
memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat
Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya
Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan
tidak boleh dirusak”.
Dari
tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang
menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau
Garam ini.
Selengkapnya tentang Masjid Agung Sumenep, lihat DISINI